Babat Sakti Ki Ageng Kutu Ponorogo


Di sebuah warung kopi yang ramai di pinggir alun-alun Ponorogo, duduklah tiga orang pria paruh baya dengan ekspresi serius. Mereka adalah Mbah Darmo, Kang Parno, dan Cak Slamet, tiga orang yang mengaku-aku sebagai keturunan langsung dari Ki Ageng Kutu, tokoh legendaris dari Ponorogo.

"Aku ini keturunan Ki Ageng Kutu yang paling sah!" seru Mbah Darmo, suaranya bergetar menahan emosi. "Buktinya, aku punya pusaka warisan turun-temurun, sebuah keris berluk lima yang konon pernah dipakai Ki Ageng Kutu saat bertarung melawan Ki Ageng Mirah!"

Kang Parno mendengus. "Keris berluk lima? Semua orang juga bisa bikin! Aku ini yang paling sah. Buktinya, aku hafal semua mantra-mantra Ki Ageng Kutu. Coba kau sebutkan mantra untuk memanggil angin!"

Cak Slamet tak mau kalah. "Hafal mantra? Itu sih gampang! Aku ini yang keturunan sah! Buktinya, aku punya jimat sakti, bulu perindu warisan Ki Ageng Kutu. Siapa yang melihat bulu perindu ini pasti langsung jatuh cinta padaku!"

Perdebatan mereka semakin memanas. Tiga gelas kopi yang dipesan sudah habis, tapi tak ada tanda-tanda siapa yang paling benar. Pemilik warung, Bu Sri, yang sudah lelah mendengar perdebatan itu, akhirnya angkat bicara.

"Sudah, sudah! Daripada ribut, lebih baik kalian buktikan saja siapa yang paling sakti di antara kalian," usul Bu Sri sambil mengelap meja.

Ketiga pria itu terdiam. Ide Bu Sri terdengar menantang.

"Baiklah!" Mbah Darmo menyanggupi. "Kita adakan lomba babat tanah. Siapa yang bisa membabat tanah paling luas dalam waktu satu jam, dialah keturunan Ki Ageng Kutu yang paling sah!"

Kang Parno dan Cak Slamet setuju. Mereka pun bergegas ke lapangan yang luas di belakang warung, masing-masing membawa arit andalannya. Mbah Darmo dengan keris berluk lima di pinggangnya, Kang Parno dengan komat-kamit membaca mantra, dan Cak Slamet dengan bulu perindu yang diselipkan di telinganya.

Perlombaan dimulai! Mbah Darmo mengayunkan aritnya dengan penuh semangat, keris di pinggangnya bergetar seolah memberi kekuatan. Kang Parno tak kalah gesit, mulutnya terus merapal mantra sambil membabat rumput. Cak Slamet, dengan keyakinan penuh, membabat dengan gerakan yang anggun, yakin bulu perindunya akan membuatnya menang.

Satu jam berlalu. Ketiga pria itu kelelahan, bersimbah keringat. Bu Sri datang untuk menilai.

"Mbah Darmo, kau berhasil membabat sepetak tanah," kata Bu Sri sambil menunjuk area yang dibabat Mbah Darmo.

"Kang Parno, kau juga berhasil membabat sepetak tanah," lanjut Bu Sri, menunjuk area milik Kang Parno.

"Dan Cak Slamet…," Bu Sri terdiam sejenak, matanya membelalak ke arah area Cak Slamet. "Kau… kau juga membabat sepetak tanah."

Ketiga pria itu saling pandang, bingung. Luas tanah yang mereka babat ternyata sama persis!

"Lalu, siapa yang paling sah?" tanya Mbah Darmo, napasnya masih terengah-engah.

Bu Sri tersenyum. "Tidak ada yang paling sah, Bapak-bapak. Kalian semua sama-sama hebat! Tapi, kalian tahu apa yang lebih hebat?"

Ketiganya menggeleng.

"Babat buatan warung saya!" Bu Sri menunjuk ke arah piring berisi babat goreng yang baru saja dihidangkan. "Gurih, empuk, dan dijamin bikin ketagihan! Lebih nikmat daripada ribut soal siapa yang paling sakti."

Mbah Darmo, Kang Parno, dan Cak Slamet terdiam. Mereka mencium aroma babat goreng yang menggoda. Akhirnya, mereka setuju untuk berdamai dan memesan babat goreng buatan Bu Sri.

"Ternyata," kata Mbah Darmo sambil mengunyah babat goreng, "babat buatan Bu Sri lebih sakti daripada keris berluk lima."

"Benar," timpal Kang Parno. "Mantraku kalah ampuh sama bumbu babat ini."

"Bulu perinduku pun tak bisa menandingi kelezatan babat goreng ini," tambah Cak Slamet sambil tertawa.

Dan begitulah, perdebatan tentang keturunan Ki Ageng Kutu berakhir dengan sepiring babat goreng yang lezat. Mereka sadar, bahwa kebersamaan dan kenikmatan kuliner lokal jauh lebih penting daripada perselisihan yang tak berujung. Dan Bu Sri? Dia tersenyum puas, karena babat gorengnya menjadi legenda baru di Ponorogo.

cerita ini di tulis oleh ai

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال