Alkisah, pada zaman dahulu kala, hiduplah seorang pemuda bernama Joko Umbaran. Ia gemar sekali mengembara, mencari pengalaman dan ilmu kanuragan. Suatu hari, dalam pengembaraannya, Joko Umbaran tersesat di sebuah hutan lebat. Berhari-hari ia berkeliling, kehabisan bekal, dan nyaris putus asa. Tubuhnya lemas tak bertenaga, perutnya keroncongan minta diisi.
"Aduh... perutku lapar sekali," keluh Joko Umbaran sambil memegangi perutnya. "Kalau begini terus, bisa-bisa aku mati kelaparan di hutan ini."
Tiba-tiba, hidungnya yang mancung itu mencium aroma yang sangat menggoda. Aroma masakan yang lezat, harum, dan... unik? Joko Umbaran mengikuti sumber aroma itu dengan sisa-sisa tenaganya. Semakin dekat, aroma itu semakin kuat dan membuat perutnya semakin keroncongan.
Akhirnya, ia tiba di sebuah gubuk sederhana. Di depan gubuk itu, seorang nenek tua sedang menanak nasi di atas tungku. Yang unik, nasi itu ditanak di dalam ruas bambu yang dibakar. Asap mengepul dari bambu, menebarkan aroma yang sedap.
"Nek, apa yang sedang Nenek masak?" tanya Joko Umbaran dengan suara parau.
Nenek itu menoleh dan tersenyum ramah. "Nenek sedang memasak pacitan, Nak," jawabnya.
"Pacitan? Apa itu, Nek?" tanya Joko Umbaran penasaran.
"Pacitan itu nasi yang dimasak dengan cara ini," jelas si Nenek sambil menunjuk bambu yang sedang dibakar. "Nasi ini sangat lezat dan mengenyangkan. Cocok untuk pengembara sepertimu."
Joko Umbaran, yang sudah sangat kelaparan, langsung menelan ludah. "Bolehkah aku mencicipinya, Nek?"
"Tentu, Nak. Kebetulan sekali Nenek memasak banyak," jawab Nenek dengan senang hati.
Nenek itu pun membuka bambu yang sudah matang. Uap panas mengepul, memperlihatkan nasi yang pulen dan harum. Nenek itu menyendokkan nasi ke dalam piring yang terbuat dari daun pisang, lalu menyajikannya kepada Joko Umbaran.
"Silakan dinikmati, Nak," kata Nenek.
Tanpa ragu, Joko Umbaran langsung menyantap pacitan itu. "Hmm... enak sekali, Nek!" seru Joko Umbaran dengan mulut penuh. "Aku belum pernah makan nasi seenak ini!"
Saking lahapnya, Joko Umbaran menghabiskan seluruh pacitan yang disajikan. Ia merasa kenyang dan tenaganya kembali pulih.
"Terima kasih, Nek. Pacitan Nenek sangat lezat dan mengenyangkan," kata Joko Umbaran dengan tulus.
"Syukurlah kalau kau suka, Nak," balas Nenek sambil tersenyum.
Setelah beristirahat dan berbincang-bincang dengan Nenek, Joko Umbaran pun pamit untuk melanjutkan perjalanannya. Sebelum pergi, ia bertanya, "Nek, daerah ini namanya apa?"
Nenek itu tersenyum. "Dulu, daerah ini belum punya nama, Nak. Tapi, karena kau bilang nasi ini 'pacitan' dan kau sangat menikmatinya, bagaimana kalau kita namakan daerah ini Pacitan?"
Joko Umbaran setuju. "Ide yang bagus, Nek! Aku setuju!"
Sejak saat itu, daerah tersebut dikenal dengan nama Pacitan. Dan konon, cara memasak nasi dengan dibakar di dalam bambu, yang disebut 'pacitan' oleh Joko Umbaran, menjadi cikal bakal nasi tiwul, makanan khas Pacitan yang terkenal hingga kini. Meskipun nasi tiwul terbuat dari singkong, bukan beras, mungkin saja dulu beras itu juga dimasak dengan cara serupa, lalu karena kelangkaan beras diganti dengan singkong.
Entahlah! Yang jelas, gara-gara perut lapar Joko Umbaran dan kebaikan hati si Nenek, lahirlah nama kota Pacitan yang kita kenal sekarang. Dan mungkin, gara-gara salah sebut juga, nasi yang dimasak dalam bambu yang aslinya entah apa namanya, jadi dikenal dengan nama 'pacitan', dan berujung jadi nama kota yang indah di pesisir selatan Jawa Timur. Lucu, ya?