Pecel Madiun dan Logika Pak Lurah


Pak Bejo adalah seorang penjual nasi pecel legendaris di alun-alun Kota Madiun. Pecelnya terkenal enak, bumbunya pas, dan sayurannya selalu segar. Tak heran jika warungnya selalu ramai dikunjungi pelanggan. Suatu hari, Pak Lurah yang baru dilantik, Pak Rahmad, datang berkunjung. Ia penasaran ingin mencicipi pecel Pak Bejo yang tersohor itu.

"Pak Bejo, pecelnya satu, pedas sedang," pesan Pak Rahmad dengan wibawa.

Pak Bejo mengangguk, cekatan meracik pecel pesanan Pak Lurah. Setelah siap, sepiring nasi pecel dengan lauk tempe mendoan hangat dan rempeyek udang yang renyah pun tersaji di depan Pak Rahmad.

Pak Rahmad menikmati pecel dengan lahap. Saking enaknya, ia sampai nambah satu porsi lagi. Setelah selesai makan dan perut kenyang, Pak Rahmad pun memanggil Pak Bejo.

"Bejo, enak sekali pecelmu. Saya sampai nambah," puji Pak Rahmad. "Berapa semua?"

"Dua porsi pecel, totalnya dua puluh ribu, Pak Lurah," jawab Pak Bejo.

Pak Rahmad tampak berpikir sejenak, kemudian berkata, "Begini, Bejo. Saya kan baru dilantik jadi Lurah. Saya ingin membuat terobosan, ingin memajukan perekonomian rakyat. Nah, saya punya ide. Bagaimana kalau harga pecelmu ini kita naikkan saja?"

Pak Bejo terkejut, "Lho, dinaikkan bagaimana, Pak Lurah?"

"Ya, dinaikkan. Supaya pendapatanmu bertambah, ekonomi rakyat meningkat," jelas Pak Rahmad dengan yakin. "Misalnya, harga seporsi kita naikkan jadi lima puluh ribu. Jadi, kamu dapat untung lebih banyak."

Pak Bejo menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Tapi, Pak Lurah, kalau harganya dinaikkan segitu, nanti siapa yang mau beli? Pecel saya kan terkenal enak dan murah. Kalau mahal, nanti pelanggan saya lari."

Pak Rahmad tersenyum simpul. "Tenang, Bejo. Itu sudah saya pikirkan. Saya akan subsidi selisih harganya. Jadi, kamu tetap dapat lima puluh ribu per porsi, tapi pembeli tetap bayar sepuluh ribu. Selisih empat puluh ribu itu nanti saya yang tanggung."

Pak Bejo semakin bingung. "Lha, terus untungnya buat Bapak apa?"

"Untungnya, ekonomi rakyat bergairah, Bejo! Nanti akan saya anggarkan di APBD. Ini namanya program pro-rakyat!" tegas Pak Rahmad.

Pak Bejo terdiam, mencoba mencerna logika Pak Lurah yang menurutnya sedikit aneh. Akhirnya, ia berkata, "Maaf, Pak Lurah, tapi sepertinya saya tidak bisa ikut program itu."

"Lho, kenapa?" tanya Pak Rahmad heran.

"Begini, Pak. Kalau saya jual pecel seharga lima puluh ribu, tapi pembeli hanya bayar sepuluh ribu, dan Bapak mensubsidi empat puluh ribu, itu artinya Bapak harus mengeluarkan uang lebih banyak, kan? Padahal, Bapak makan dua porsi tadi harusnya bayar dua puluh ribu, tapi kalau pakai program Bapak, Bapak harus mengeluarkan delapan puluh ribu. Jadi, bukannya untung, malah buntung, Pak. Lagipula, kasihan uang rakyat kalau dipakai buat subsidi pecel saya saja. Lebih baik dipakai untuk bangun jalan atau sekolah."

Pak Rahmad tertegun. Ia baru sadar akan kekeliruan logikanya. Ia menepuk jidatnya sendiri. "Wah, iya juga ya, Bejo. Kamu benar. Saya terlalu bersemangat sampai tidak berpikir jernih."

Pak Rahmad pun tertawa, mengakui kesalahannya. Ia kemudian membayar pecelnya sesuai harga normal. "Terima kasih, Bejo. Kamu sudah mengingatkan saya. Ternyata, pecel Madiun tidak hanya enak, tapi penjualnya juga cerdas!"

Sejak saat itu, Pak Rahmad sering berkonsultasi dengan Pak Bejo sebelum membuat kebijakan. Ia belajar bahwa logika sederhana dan suara rakyat, terkadang lebih penting daripada teori-teori ekonomi yang rumit. Dan Pak Bejo, si penjual pecel, menjadi penasihat tidak resmi Pak Lurah, memastikan bahwa kebijakan yang dibuat benar-benar pro-rakyat, bukan hanya sekedar jargon politik semata. Dan pecel Madiun, tetap terkenal enak dan murah, menjadi simbol kecerdasan dan kesederhanaan warga Kota Madiun.

Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال